Sejarah Internet Indonesia

Posted on Rabu, 16 November 2011 by uf_nurmadani

Sejarah internet Indonesia dimulai pada awal tahun 1990-an. Saat itu jaringan internet di Indonesia lebih dikenal sebagai paguyuban network, dimana semangat kerjasama, kekeluargaan & gotong royong sangat hangat dan terasa di antara para pelakunya. Agak berbeda dengan suasana Internet Indonesia pada perkembangannya kemudian yang terasa lebih komersial dan individual di sebagian aktivitasnya, terutama yang melibatkan perdagangan Internet. Sejak 1988, ada pengguna awal Internet di Indonesia yang memanfaatkan dan untuk mengakses internet.

Awal Internet Indonesia

Berdasarkan catatan whois ARIN dan APNIC, protokol Internet (IP) pertama dari Indonesia, UI-NETLAB (192.41.206/24) didaftarkan oleh Universitas Indonesia pada 24 Juni 1988. RMS Ibrahim, Suryono Adisoemarta, Muhammad Ihsan, Robby Soebiakto, Putu, Firman Siregar, Adi Indrayanto, dan Onno W. Purbo merupakan beberapa nama-nama legendaris di awal pembangunan Internet Indonesia di tahun 1992 hingga 1994. Masing-masing personal telah mengontribusikan keahlian dan dedikasinya dalam membangun cuplikan-cuplikan sejarah jaringan komputer di Indonesia.

Tulisan-tulisan tentang keberadaan jaringan Internet di Indonesia dapat dilihat di beberapa artikel di media cetak seperti KOMPAS berjudul "Jaringan komputer biaya murah menggunakan radio"[1] di bulan November 1990. Juga beberapa artikel pendek di Majalah Elektron Himpunan Mahasiswa Elektro ITB di tahun 1989.

Internet Service Provider Indonesia

Di sekitar tahun 1994 mulai beroperasi IndoNet yang dipimpin oleh Sanjaya. IndoNet merupakan ISP komersial pertama Indonesia. Pada waktu itu pihak POSTEL belum mengetahui tentang celah-celah bisnis Internet & masih sedikit sekali pengguna Internet di Indonesia. Sambungan awal ke Internet dilakukan menggunakan dial-up oleh IndoNet, sebuah langkah yang cukup nekat barangkali. Lokasi IndoNet masih di daerah Rawamangun di kompleks dosen UI, kebetulan ayah Sanjaya adalah dosen UI. Akses awal di IndoNet mula-mula memakai mode teks dengan shell account, browser lynx dan email client pine pada server AIX.

Mulai 1995 beberapa BBS di Indonesia seperti Clarissa menyediakan jasa akses Telnet ke luar negeri. Dengan memakai remote browser Lynx di AS, maka pemakai Internet di Indonesia bisa akses Internet (HTTP).

Perkembangan terakhir yang perlu diperhitungkan adalah trend ke arah e-commerce dan warung internet yang satu & lainnya saling menunjang membuahkan masyarakat Indonesia yang lebih solid di dunia informasi. Rekan-rekan e-commerce membangun komunitasnya di beberapa mailing list utama seperti warta-e-commerce@egroups.com, mastel-e-commerce@egroups.com, e-commerce@itb.ac.id & i2bc@egroups.com.

Cuplikan-cuplikan Perjuangan IT & Internet Indonesia

Cuplikan dan catatan sejarah perjuangan Internet Indonesia dapat di baca di WikiBook Sejarah Internet Indonesia [2]di dalam internet terdapat hal-hal yang bermanfaat seperti informasi, artikel edukatif dan lain sebagainya

Pengguna Awal Internet Lewat CIX dan Compuserve

Sejak 1988, CIX (Inggris) menawarkan jasa E-mail dan Newsgroup. Belakangan menawarkan jasa akses HTTP dan FTP. Beberapa pengguna Internet memakai modem 1200 bps dan saluran telpon Internasional yang sangat mahal untuk mengakses Internet. Sejak 1989 Compuserve (AS) juga menawarkan jasa E-mail dan belakangan Newsgroup, HTTP/FTP. Beberapa pengguna Compuserve memakai modem yang dihubungkan dengan Gateway Infonet yang terletak di Jakarta. Biaya akses Compuserve masih mahal, tetapi jauh lebih murah dari CIX.

Referensi

http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/Jaringan_komputer_biaya_murah_menggunakan_radio

http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/Sejarah_Internet_Indonesia

Budaya, Gander dan Komunikasi

Posted on Senin, 06 Juni 2011 by uf_nurmadani

BAB I

PENGERTIAN

Devinisi Kebudayaan

J. Verkuyl menulis bahwa kata kebudayaan itu mulai dipakai kira-kira pada tahun 1930 dan dengan cepat kata itu merebut tempat yang tetap dan luas dalam khazanah perbendaharaan bahasa Indonesia. Selanjutnya, Verkuyl mengatakan bahwa kata


kebudayaan itu berasal dari bahasa Sangsekerta budaya, yakni bentuk jamak dari budi yang berarti roh atau akal.. Perkataan budaya mengatakan: segala sesuatu yang diciptakan oleh budhi dan akal.
Koentjaraningrat mempunyai pandangan yang serupa. Yakni kata kebudayaan berasal dari bahasa sang sekerta budhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.
Meskipun definisi budaya belum mencapai kesepakatan, akan tetapi sesungguhnya memiliki kesamaan, yaitu sesuatu yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat, baik itu berupa pola perilaku maupun sistem pengetahuan.
Manusia (masyarakat) dan kebudayaan tidak bias dipisahkan dari kebudayaan, karena keduanya merupakan suatu jalinan yang saling erat berkait. Kebudayaan tidak aka nada tanpa masyarakat, sebaliknya tidak ada suatu kelompok manusia pun, betapa terasing dan bersahajanya hidup mereka, yang tidak memiliki kebudayaan, karena manusia adalah subjek budaya. Hal itu bersumber dari serangkaian proses pembelajaran yang dimulai sejak manusia itu dilahirkan. Pada lingkungan mana seseorang dilahirkan dan melalui proses pembelajaran apa yang dilaluinya itu sangat berpengaruh terhadap budaya yang dimilikinya.
Jander Budaya
Harus dipahami bahwa setiap kelompok sosial/ masyarakat memiliki budaya tertentu yang mana dapat sangat berbeda dengan budaya kelompok sosial yang lain. Perbedaan ini berimplikasi pada perbedaan pandangan yang dimilikinya.
Berdasarkan mata pencahariannya, masyarakat dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok, yaitu masyarakat petani, masyarakat nelayan dan lain sebagainya. Dan yang lebih penting adalah, orang-orang yang tergabung dalam suatu institusi ilmiah (misalnya lembaga penelitian) juga memiliki budaya tertentu yang mana dapat berpengaruh pada cara pandang mereka terhadap lingkungan yang dihadapi. Oleh karena itu, tidak satu pun pendapat yang betul-betul bebas nilai.
Budaya bukan sesuatu yang dimiliki begitu saja tanpa mengalami proses tertentu, melainkan sesuatu yang dimiliki melalui proses belajar sejak seseorang dilahirkan. Proses pembelajaran adalah hal yang paling penting dalam pembentukan budaya, sehingga budaya yang dianut oleh seseorang sangat tergantung dari proses budaya yang dilaluinya. Jika budaya adalah hasil dari suatu proses pembelajaran, maka sangat jelas bahwa budaya suatu kelompok sosial tertentu akan berbeda dengan budaya dari kelompok yang lain. Tidak semua orang memiliki proses pembelajaran yang sama, yang mana hal ini berimplikasi terhadap cara pandang dan pola perilaku mereka.
Lingkungan yang dihadapi oleh suatu masyarakat dapat berbeda dengan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat yang lain. Lingkungan tersebut dapat berupa lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Masing-masing lingkungan memiliki "tantangan" tersendiri sehingga menciptakan proses pembelajaran yang berbeda-beda.
Hal ini merujuk pada pendefinisian konsep budaya dari aliran fungsionalisme, bahwa budaya merupakan sesuatu yang memiliki fungsi dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat penganutnya. Dengan demikian, budaya tertentu tidak akan dianut oleh suatu masyarakat jika menurut pandangan mereka budaya tersebut tidak memiliki fungsi atau tidak memenuhi kebutuhan mereka. Jadi, budaya akan mengalami perubahan jika dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat penganutnya.
Koentjoraningrat dalam teorinya menyatakan bagian-bagian (unsur-unsur) dari kebudayaan meliputi:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia ( pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat-alat produksi, alat-alat transformasi, dan lain sebagainya).
2. Mata pencahariian hidup dan system-sistem ekonomi (pertanian, perternakan, system produksi, distribusi, dan sebagainya).
3. Sitem kemsyarakatan (system kekerabatan, organisasi polotik, system hokum, system perkawinan, dan sebagainya).
4. Bahasa (lisan maupun tertulis).
5. Kesenian (senirupa, gerak, music dan sebagainya).
6. Ilmu pengetahuan.
7. Religie.
C. Kluckhohn menyebutkan bagian-bagian dari kebudayaan:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup.
2. Mata pencacaharian hidup dan system-sistem ekonomi.
3. System masyarakat.
4. Bahasa.
5. Kesenian.
6. System Pengetahuan.
7. Religie.
Seperti halnya yang dikatakan Koentjoraningrat, karena segala sesuatu dimungkinkan untuk diciptakan oleh manusia, maka ciptaan manusia bisa dinamakan kebudayaan itu mempunyai sifat, corak dan ragam yang luas dan kompleks. Ada kebudayaan material, yang dapat dilihat dan diraba karena wujudnya kongkrit, seperti kancing, pakaian, gedung dall. Ada pula kebudayaan inmaterial, yang tidak bias dan diraba karena wujudnya abstrak, seperti ilmu pengetahuan, dan kesenian.
Menurut Koentjoraningrat, kebudayaan beragam itu mempunyai 3 wujud:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas dan kelakuan berpola dari manusia dalam bermasyarakat.
3. Wujud budaya sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Dengan memahami konsep kebudayaan dan peran gender seperti di atas, maka kita akan mudah memahami bahwa pembagian peran berdasarkan gender dipengaruhi oleh budaya yang dianut suatu masyarakat. Proses pembelajaran yang berbeda-beda antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain melahirkan pula perbedaan budaya, yang mana hal ini berimplikasi terhadap pembagian peran berdasarkan gender. Masyarakat yang diperhadapkan pada lingkungan tertentu, misalnya nelayan, akan memiliki perbedaan dalam hal pembagian peran dengan masyarakat yang lain. Pekerjaan menangkap ikan yang tidak memungkinkan dilakukan secara bersamaan dengan mengasuh anak melahirkan pembagian peran antara suami dengan istri (laki-laki dengan perempuan). Suami yang berangkat ke laut untuk melakukan penangkapan dan perempuan tinggal di darat untuk merawat anak, mempersiapkan makanan dan sebagainya.

BAB II
PEMBAHASAN
Komunikasi Dan Budaya
Komunikasi adalah suatu proses dalam mana seseorang atau beberapa orang, kelompok, organisasi, dan masyarakat menciptakan, dan menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungan dan orang lain.
Budaya adalah sesuatu yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat, baik itu berupa pola perilaku maupun sistem pengetahuan.
Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini.
Menurut Stewart L. Tubbs,komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya.
Komunikasi dan budaya secara timbal balik saling berpengaruh satu sama lain. Budaya dimana secara individu-individu disosialisasikan, akan berpengaruh terhadap cara mereka dalam berkomunikasi. Dan cara bagaimana individu-individu itu berkomunikasi, dapat mengubah budaya yang mereka miliki dari waktu ke waktu. Hanya saja, kebanyakan analisis tentang komunikasi antarpribadi mengabaikan hubungan ini dan aspek budaya menjadi kosong dalam studi komunikasi. Sebaliknya, studi-studi tentang komunikasi lintas budaya, menguji pengaruh budaya terhadap komunikasi. Kebanyakan analisis tentang komunikasi lintas budaya membandingkan dan mempertentangkan pola-pola komunikasi dari berbagai macam budaya (Gudykunst & Ting-Toomey, 1988).
Komunikasi Antar Gender.
Peran gender merupakan peran yang dimainkan oleh kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksi secara sosial budaya. Peran yang dimainkan oleh kaum perempuan di Papua misalnya berbeda dengan peran yang dimainkan oleh kaum perempuan di Jawa. Inilah yang disebut dengan peran gender.
Oakley (1972) dalam “Sex, Gender and society” mendefinisikan gender sebagai berbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikontrusikan secara sosial. Perbedaan ini bukan yang bersifat kodrati atau yang diberikan oleh tuhan yang maha esa, melainkan perbedaan yang diciptakan oleh manusia (laki-laki, dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.
Dari pengertian tersebut memberikan landasan berfikir tentang pendefinisian sosial-budaya tentang hak dan kewajiban seorang lakilaki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, bukan dari perbedaan jenis kelamin. Meskipun dalam konsep komunikasi yang lebih luas perbedaab fisik tersebut juga mempengaruhi dalam proses komunikasi, tapi dalam hal ini lebih ditekankan pada karakter yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan dalam sosial dan kultural.
Misalnya: dalam budaya jawa, putri solo didefinisikan sebagai wanita dengan karakter “lakune koyo macan luwe” – jalanya seperti harimau lapar -. Wanita didefinisikan secara budaya seperti karakter Sembadra yang lemah lembut, dan keibuan, atau seperti srikandi yang galak, tegar, pemberani dan penuh emosional. Sedangkan laki-laki dijawa didefinisikan sebagai makhluk yang rasional, perkasa, dan kuat seperti Arjuna, yang sisebut sebagai “lelananging jagad”. Dari sifat tersebut, laki-laki dianggap pantas menjadi pemimpin, kepala rumah tangga, sebagaimana raja-raja yang pada umumnya laki-laki.
Padahan dalam kenyataan tidaklah demikian, tidak semua laki-laki penuh rasional, tapi juga sangat emosional, dan tidak semua perempuan pula yang lemah lembut, keibuan, dan emosional, tapi juga kuat dan penuh rasional.
Dari pembedaan karakter tersebut muncul ketidak adilan jender, sehingga perempuan menjadi “konco wingking” - pekerja domestik-, yakni mengerjakan pekerjaan kedua setelah pekerjaan laki-laki. Secara tradisi, perempuan mengelola pekerjaan rumah tangga yang sedikit banyak menanggung kerja domestic yang lebih besar dan lama.
Dari hal tersebut maka terjadi marjinalisasi perempuan dalam bidang pekerjaan-pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan kaum laki-laki. Misalnya, laki-laki adalah pencari nafkah maka perempuan dilarang bekerja diluar rumah.
Semua hal itu adalahb warisan budaya yang menjadi pelabelan negative (stereotipe) terhadap jenis kelamin tertentu. Hal ini tidak saja berpengaruh pada komunikasi antar jender, tetapi juga kekerasan (violence) terhadap perempuan pada umumnya sering terjadi dilakukan oleh kaum lelaki.
Dengan memahami konsep kebudayaan dan peran gender seperti di atas, maka kita akan mudah memahami bahwa pembagian peran berdasarkan gender dipengaruhi oleh budaya yang dianut suatu masyarakat. Proses pembelajaran yang berbeda-beda antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain melahirkan pula perbedaan budaya, yang mana hal ini berimplikasi terhadap pembagian peran berdasarkan gender. Masyarakat yang diperhadapkan pada lingkungan tertentu, misalnya nelayan, akan memiliki perbedaan dalam hal pembagian peran dengan masyarakat yang lain. Pekerjaan menangkap ikan yang tidak memungkinkan dilakukan secara bersamaan dengan mengasuh anak melahirkan pembagian peran antara suami dengan istri (laki-laki dengan perempuan). Suami yang berangkat ke laut untuk melakukan penangkapan dan perempuan tinggal di darat untuk merawat anak, mempersiapkan makanan dan sebagainya.
Barbara Freyer Stowasser menyebutkan dalam gerakan jender untuk mendapatkan sintem nilai sebagaimana yang pernah dipraktikan dalam masa awal Islam, kaum modernis membutuhkan metode ijtihat, interpretasi individu atas kitab suci dan membutuhkan pembaharuan hukum. Muhammad Abduh (1905) mengidentifikasi pembebasan kaum perempuan dari penindasan kaum laki-laki sebagai prokondisi penting untuk membina suatu masyarakat yang sejahtera. Muhammad Abduh menekankan pentingnya mengangkat martabat kaum perempuan secara penuh sebagai syarat demi kebajikan Islam. Karya-karya kaum modernis yang nengungakapkan persamaan hak-hak perempuan Islam dalam didang social-politik.

BAB III
KESIMPULAN
Peran gender merupakan peran yang dimainkan oleh kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksi secara sosial budaya. Dalam masyarakat ketidak seimbangan hubungan antara laki-laki dam perempuan, antara orang tuan dan orang muda disebabkan oleh adanya cara pandang yang berbeda dalam memahami tentang dunia. Dalam perpektif jender, tampak bahwa peran laki-laki lebih dominan ketimbang peran yang dimainkan oleh perempuan. Dari hal tersebut maka terjadi marjinalisasi perempuan dalam bidang pekerjaan-pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan kaum laki-laki. Misalnya, laki-laki adalah pencari nafkah maka perempuan dilarang bekerja diluar rumah.
Kaum modernis membutuhkan metode ijtihat, interpretasi individu atas kitab suci dan membutuhkan pembaharuan hukum, seperti yang diungkapkan oleh Barbara Freyer Stowasser, yang menyebutkan dalam gerakan jender untuk mendapatkan sintem nilai sebagaimana yang pernah dipraktikan dalam masa awal Islam. Sehingga pembebasan kaum perempuan dari penindasan kaum laki-laki sebagai prokondisi penting untuk membina suatu masyarakat yang sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA
• Purwasito, Andrik. KOMUNIKASI MULTIKULTURAL. Universitas Muhammadiyah. Solo. 2003.
• Lliweri, Alo. Gatra Gatra Komunikasi Antar Budaya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2001
• Islail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Analisis Historis. PT. Mitra Cendikia. Jakarta. 2004
• www.google.com
• www.wikipedia.com

Budaya, Gander dan Komunikasi
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Komunikasi Antar Budaya
Dosen : Eny Sulistyowati, M.Si.
Pemakalah:
Nurmadani Ilham 26.08.1.1.012
JURUSAN DAKWAH DAN KOMUNUIKASI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SURAKARTA
2011